''MEMAHAMI KONSEP
TAUHID SYI’AH''
Makalah ini
diajukan untuk memenuhi Tugas Kelompok
Diskusi
Mata Kuliah Ilmu Tauhid Program Studi Ekonomi Syariah.5
Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Watampone.
Disusun oleh Kelompok IV :
ST.ATIRAH
01123105
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
WATAMPONE
2012/2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Syiah
adalah madzhab yang pertama lahir dalam Islam. Madzhab Syiah memiliki visi
politiknya sendiri, sebagian dekat dan sebagian lain jauh dari agama. Madzhab
ini tampil pada akhir masa pemerintahan
Utsman, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali. Setiap kali Ali
berhubungan dengan masyarakat, mereka semakin mengagumi bakat-bakat, kekuatan
beragama, dan ilmunya. Karena itu para propagandis Syiah mengeksploitasi
kekaguman mereka terhadap Ali untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka
tentang dirinya.
Di
antara pemikiran itu ada yang menyimpang, dan ada pula yang lurus. Ketika
keturunan Ali yang sekaligus keturunan Rasulullah mendapat perlakuan zalim yang
semakin hebat dan banyak mengalami penyiksaan pada masa bani Umayyah, rasa
cinta mereka terhadap keturunan Ali semakin mendalam. Mereka memandang
Ahlulbait ini sebagai Syuhada dan korban kedzaliman. Dengan demikian, semakin
meluaslah daerah madzhab Syiah dan pendukungnya semakin banyak. Golongan Syiah
beranggapan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan anak keturunannya lebih
berhak menjadi khalifahdaripada orang lain, berdasarkan wasiat Nabi. Masalah
khalifah ini adalah soal politik yang dalam perkembangan selanjutnya mewarnai
pandangan mereka di bidang agama.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latarbelakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Apa
Pengertian dan Asal-usul Syia’ah?
2. Apa-Apa
saja yang Termasuk Golongan Syiah?
3. Bagaimana
Perkembangan dan Ajaran Syiah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Asal-usul Syi’ah
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai,
atau kelompok, sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang
dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan
Rasulullah S.a.w. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa
segala petunjuk agama itu bersumber dari ahlu al-bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk
keagamaan dari para sahabat yang bukan ahlul bait atau para pengikutnya.
Menurut Thabathbai, istilah Syi’ah untuk pertama kalinya ditujukan
pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahlul bait pada masa Nabi
Muhammad. Para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu diantaranya adalah Abu Dzar
Al-Ghiffari, Miqad bin Al-aswad, dan Ammar bin Yasir.
Pengertian bahasa dan terminologis diatas hanya merupakan dasar
yang membedakan Syi’ah dengan kelompok islam lainnya. Di dalamnya belum ada
penjelasan yang memadai mengenai Syi’ah berikut doktrin-doktrinnya. Meskipun
demikian, pengertian diatas merupakan titik tolak penting bagi mazhab Syi’ah
dalam mengembangkan dan membangun doktrin-doktrinnya yang meliputi segala aspek
kehidupan, seperti imamah, taqiyah, mut’ah, dan sebagainya.
Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan
pendapat dikalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada
masa akhir pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut pendapat lain, Syi’ah baru
benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang
dikenal dengan Perang Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas
penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Muawiyah, pasukan Ali
diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali-kelak
disebut Syi’ah, dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij.
Kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah
berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi SAW. Mereka menolak
kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan karena dalam
pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggntikan Nabi.
Kepemimpinan Ali dalam pandangan Syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat
yang diberikan oleh Rasulullah pada masa hidupnya. Pada awal kenabian, ketika
Nabi Muhammad diperintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang
pertama-tama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada
saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama-tama memenuhi ajakannya akan
menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali
merupakan orang yang menunujukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa
besar.
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah
peristiwa Ghadir Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir,
dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah, di suatu padang pasir yang bernama
Ghadir Khumm. Nabi memilih Ali sebagai penggantinya dihadapan masa yang penuh
sesak yang menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan
Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat-i ‘ammali) mereka. Namun realitas
berkata lain.
Berlawanan dengan harapan mereka, justru ketika Nabi wafat dan
jasadnya belum dikuburkan, sedangkan anggota keluarganya dan beberapa orang
sahabat sibuk dengan persiapan dan upacara pemakamannya, teman dan pengikut Ali
mendengar kabar adanya kelompok lain yang telah pergi ke masjid, tempat umat
berkumpul menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba. Kelompok ini, yang
kemudian menjadi mayoritas, bertindak lebih jauh, dan dengan sangat
tergesa-gesa memilih pimpinan kaum muslimin dengan maksud menjaga kesejahteraan
umat dan memecahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan hal itu tanpa
berunding dengan ahlul bait, keluarga, ataupun para sahabat yang sedang sibuk
dengan upacara pemakaman, dan sedikit pun tidak memberitahukan mereka. Dengan
demikian, kawan-kawan Ali dihadapkan kepada suatu keadaan yang sudah tak dapat berubah lagi
(faith accompli).[1]
Berdasarkan realitas itulah, muncul sikap di kalangan sebagian kaum
muslimin yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum mayoritas dalam
masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti
Nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah
Ali. Mereka berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus
merujuk kepadanya serta mengajak
masyarakat utuk mengikutinya. Inilah yang kemudian disebut sebagai
Syi’ah. Namun lebih dari itu, seperti dikatakan Nasr, sebab utama munculnya
Syi’ah terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sendiri, sehingga
mesti diwujudkan.
Pada hal Ali Bin Abi Thalib r.a. saja mengakui bahwa Abu Bakar
Siddiq r.a. itu sangatlah istimewa dan menonjol sekali dalam kebijaksanaan dan
keadilan.[2]
Perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenai kalangan Syi’ah
merupakan sesuatu yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah
‘perpecahan’ dalam islam yang memang mulai mencolok pada pemerintahan Utsman
bin Affan dan memperoleh momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan
Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah perang Shiffin. Adapun kaum Syi’ah,
berdasarkan hadist-hadist yang mereka terima dari ahlul bait, berpendapat bahwa
perpecahan itu sudah mulai ketika Nabi SAW. Wafat dan kekhalifahan jatuh ke
tangan Abu Bakar. Segera setelah itu terbentuklah Syi’ah. Bagi mereka, pada
masa kepemimpinan Al-Khulafa Ar-rasyidiun sekalipun, kelompok Syi’ah sudah ada.
Mereka bergerak di bawah permukaan untuk mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrin
Syi’ah kepada masyarakat. Tampaknya, Syi’ah sebagai salah satu faksi politik
islam yang bergerak secara terang-terangan, memang baru muncul pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sedangkan Syi’ah sebagai doktrin yang
diajarkan secara diam-diam oleh ahlul bait
muncul segera setelah wafatnya Nabi.
Syi’ah mendapatkan pengikut yang semakin besar, Hal ini menurut Abu
Zahrah merupakan akibat dari perlakuan kasar dan kejam dinasti ini terhadap
ahlul bait. Diantara bentuk kekerasan itu adalah yang dilakukan penguasa Bani
Umayyah. Yazid bin Mu’awiyah, umpamanya pernah memerintahkan pasukannya yang
dipimpin oleh Ibnu Ziyad untuk memenggal kepala Husein bin Ali di Karbala.
Diceritakan bahwa setelah dipenggal, kepala Husein dibawa ke hadapan Yazid dan
dengan tongkatnya Yazid memukul kepala cucu Nabi Muhammad SAW yang pada waktu
kecilnya sering dicium Nabi. Kekejaman seperti ini menyebabkan sebagian kaum
muslimin tertarik dan mengikuti madzhab Syi’ah, atau paling tidak menaruh
simpati mendalam terhadap tragedi yang menimpa ahlul bait.
B. Golongan Syiah
Golongan Syia’ah adalah kaum yang
mengikuti Ali bin Abi Thalib dimana mereka sangat mencintai Ali ra secara
berlebih-lebihan ketimbang sahabat Rasulullah Saw yang lainnya. Diantara mereka
ada yang dinamakan Ghulat yakni sangat keterlaluan dalam mencintai Ali ra,
sehingga mengiktikadkan bahwa malaikat Jibril keliru dalam menyampaikan wahyu
Allah kepada Nabi Muhammad. Saw, yang seharusnya kepada Ali.
‘Menurut syahrustani dalam
kitabnya Al Milal wa al Nihal mengatakan bahwa kaum Syi’ah terpecah dalam lima
sekte (mazhab) yaitu Kaisaniah, Zaidiah, Imamiah, Ghulah dan Ismaliyah’.[3]
Mazhab
Syi’ah yang dikemukan oleh Syahrustani tersebut merupakan induk dan biang dari
mazhab Syi’ah. Dari mazhab tersebut lahirlah aliran-aliran yang jumlahnya tidak
kurang dari 22. Dimana antaraliran saling bermusuhan, malah ada yang
kafir-mengkafirkan. Kita akan membicarakan dua golongan yang masih ada dan
besar pengaruhnya dalam dunia islam , yakni Syi’ah Zaidiah dan Syi’ah Imamiah
(Jakfariah)
1. Syi’ah
Zaidiah
Dinamakan
Syi’ah Zaidiah, karena merupakan kelompok pengikut Imam Zaid bin Ali Zainal
Abidin bin Husin Bin Ali bin Abi Thalib, yang merupakan saudara kandung dari
Abu Ja’far Muhammad Al Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Abi Thalib. Syi’ah Zaidiah adalah golongan yang lebih
moderat dari semua golongan Syi’ah yang ada. Menurut mereka Rasulullah tidak
pernah menunjuk Ali sebagai khalifah secara langsung dengan menyebut namanya.
Beliau hanya menunjukkan secara isyarat(deskripsi) saja.
Kelompok
Syi’ah Zaidah tidak menuduh Abu Bakar dan Umar sebagai perampas kekhalifahan
yang seyogianya diperuntukkan bagi Ali. Jadi, kekhalifahan Abu Bakar dan Umar
adalah sah menurut mereka meskipun yang lebih berhak adalah Ali.
Dalam
masalah akidah, mazhab Zaidah lebih condong kepada muktazilah. Imam Zaid tokoh
pendiri mazhab ini (Zaidah) adalah murid dari washil bin Atha’ yang bapak
moyangnya muktazilah. Dalam masalah fiqh mereka lebih mirip dengan Mazhab
Syafi’i.
Kini
Syiah Zaidiyyah juga tidak sama dengan Syiah Zaidiyyah masa dulu. Mereka
terpecah menjadi tiga golongan yakni : Jaarudiyyah, Sulaimaniyyah, Shalihiyyah.
Masing-masing sekte tersebut terbagi menjadi subesekte-subsekte lainnya seperti
Hutsiyyin atau Houthi yang memerangi orang Islam di Yaman.
2. Syi’ah
Imamiah
‘Dinamakan
Syi’ah imamiah karena menjadi dasar kepercayaan mereka adalah soal imam
(khalifah)’.[4]
Artinya, mereka beriktikad bahwa Baginda Ali –lah yang semestinya menjadi
khalifah (pengganti Nabi). Hal itu bukan karena kecakapannya atau sifat-sifat
yang disebut oleh Nabi Saw. Tentang beberapa
keistimewaan Ali, melainkan karena Rasulullah telah menyebut nama
Baginda Ali secara langsung dan terang-terangan.
Mereka
sepakat bahwa kepemimpinan itu merupakan pengabdian , bahkan seorang imam
dibolehkan bohong demi keselamatan diri (taqiyyah), seperti dia menyatakan
dirinya bukanlah imam, disamping itu mereka pun membatalkan adanya ijtihad
dalam suatu hukum dimana imam yang utama (Ali bin Abu Thalib) senantiasa benar
dan tidaklah mungkin dia berbuat salah dalam menetapkan hukum agama.[5]
Menurut
kelompok Syi’ah Imamiah urutan nama-nama para imam yang wajib diimani adalah
sebagai berikut :
- Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
- Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
- Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
- Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
- Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
- Jafar bin Muhammad (703–765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
- Musa bin Ja'far (745–799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
- Ali bin Musa (765–818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
- Muhammad bin Ali (810–835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
- Ali bin Muhammad (827–868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
- Hasan bin Ali (846–874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari
- Muhammad bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi
Menurut
kepercayaan mereka , imam yang kedua belas itu (imam mahdi) adalah yang
ditunggu-tunggu kehadirannya. Ia akan muncul kembali pada akhir zaman untuk
menegakkan keadilan dan menghancurkan kezaliman di muka bumi ini. Nama-nama
imam yang dua belas itu adalah termasuk rukun iman bagi penganut mazhab Syi’ah
imamiah.
Diantara kelompok Syi’ah Imamiah ada
yang mengatakan bahwa imamiah berpindah dari Jakfar Shadiq (imam ke-6) kepada
putra Ismail dan bukan kepada Musa Al Kazim seperti yang tertera dalam urutan
di atas. Oleh sebab itu, mereka disebut Syiah Ismailiyah. Kelompok Ismailiyah
itu suka bersembunyi apabila tidak kuat menghadapi musuh, banyak mengamalkan
ilmu paranormal (magic), mereka disebut juga magic Bathiniah, kadangkala juga
disebut Syi’ah Sabiah, yakni percaya terhadap tujuh orang imam yang dimulai
dari imam Ali sampai Imam Ismail.
C. Perkembangan dan
Ajaran Syiah
Berbicara
mengenai syiah ataupun aliran syiah, kita tidak akan terlepas dengan mengaitkan
hal tersebut dengan agama islam. Di kalangan awam masyarakat islam menganggap
syiah adalah eksistensi yang tidak jelas, tidak diketahui apa hakikatnya,
bagaimana berkembang, tidak melihat bagaimana sejarahnya, dan tidak dapat
diprediksi bagaimana di kemudian hari. Mereka selalu mengaitkan bahwa syiah
adalah islam. Padahal islam dan syiah sangat berbeda sekali, terutama dalam hal
aqidahnya. bagaikan minyak dan air yang tidak mungkin dapat di satukan lagi.
Aliran
ini timbul pada masa pemerintahan khalifah Usman Bin Affan yang di pimpin oleh
Abdullah bin Saba’ Al-Himyari. Abdullah bin Saba’ Al-Himyari dalam memuliakan
Ali sangat berlebihan diamenanamkan doktrin kepada pengikut aliran syiah dengan
suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah
seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa). Bahkan dia sampai menuhankan
Ali. Hal ini terdengar oleh Khalifah Ali, akhirnya Khalifah Ali memeranginya
dengan membakar para pengikut aliran syiah, kemudian sebagiannya lari ke
Madain.
Pada
periode awal hijriah, aliran syiah belum menjelma menjadi aliran yang solid,
namun pada abad ke dua hijriah syiah mengalami perkembangan yang sangat pesat
bahkan mulai menjadi mainstrem tersendiri. Dan pada periode-periode berikutnya
aliran Syiah menjadi semacam keyakinan yang menjadi trend di kalangan generasi
pemuda islam yaitu Syiah mengklaim menjadi tokoh pembaharu Islam, namun banyak
dari pemikiran dan prinsip dasar keyakinan ini yang tidak sejalan dengan Islam
itu sendiri.
Gerakan
Syiah pertama kali berkembang di iran, rumah dan kiblat utama Syiah. Namun
sejak tahun 1979, persis ketika revolusi Iran meletus dan negeri ini dipimpin
oleh Ayatullah Khomeini dengan cara menumbangkan rejim Syah Reza Pahlevi, Syiah
merembes ke berbagai penjuru dunia. Kelompok-kelompok yang mengarah kepada
gerakan Syi’ah seperti yang terjadi di Iran, marak dan muncul di mana-mana.
Dalam
menyebarkan paham keagamaannya, Syiah menggunakan beberapa cara. Diantaranya
adalah dengan mengatasnamakan dirinya dengan Madhzab Ahlul Bait. Dengan
tampilan ini, aliran Syiah lebih leluasa dalam menggait dan menyebarkan
pahamnya terhadap masyarakat luas yang pada umumnya adalah masyarakat awam.
Cara yang kedua yaitu aliran syiah membuat doktrin dan ajaran yang disebut
dengan “TAQIYA”.Taqiyah adalah konsep Syiah dimana mereka diperbolehkan memutarbalikkan
fakta (berbohong) untuk menutupi kesesatannya dan mengutarakan sesuatu yang
tidak diyakininya. Seorang Syi’ah wajib bertaqiyah di depan siapa saja, baik
orang mukmin yang bukan alirannya maupun orang kafir atau ketika kalah beradu
argumentasi, terancam keselamatannya serta di saat dalam kondisi minoritas.
Dalam keadaan minoritas dan terpojok, para tokoh Syi’ah memerintahkan untuk
meningkatkan taqiyah kepada pengikutnya agar menyatu dengan kalangan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, berangkat Jum’at di masjidnya dan tidak menampakkan
permusuhan. Inilah kecanggihan dan kemujaraban konsep taqiyah, sehingga sangat
sulit untuk melacak apalagi membendung gerakan mereka.
Para
ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa melakukan Taqiyah adalah
hukumnya mubah(boleh) sesuai yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah. Mubah
disini dapat dikategorikan apabila dalam keadaan terpaksa dan mengancam
keselamatan jiwa. Seperti ketika menghadapi kaum musrikin demi menjaga
keselamatan jiwanya dari siksaan yang akan menimpanya, atau dipaksa untuk kafir
dan taqiyah ini merupakan pilihan terakhir karena tidak ada jalan lain.
Demikianlah doktrin taqiyah yang ditanamkan syiah kepada para pengikutnya yang
telah menyalahi dan menyimpang dari ajaran Allah yang bersumber pada al-Qur’an
dan as-Sunnah.
Ø Kesesatan-kesesatan
Syiah
Di
kalangan Syiah, terkenal klaim 12 Imam atau sering pula disebut “Ahlul Bait”
Rasulullah Muhammad saw; penganutnya mendakwa hanya dirinya atau golongannya
yang mencintai dan mengikuti Ahlul Bait. Klaim ini tentu saja ampuh dalam
mengelabui kaum Ahli Sunnah, yang dalam ajaran agamanya, diperintahkan untuk
mencintai dan menjungjung tinggi Ahlul Bait. Padahal para imam Ahlul Bait
berlepas diri dari tuduhan dan anggapan mereka. Tokoh-tokoh Ahlul Bait
(Alawiyyin) bahkan sangat gigih dalam memerangi faham Syi’ah, seperti mantan
Mufti Kerajaan Johor Bahru, Sayyid Alwi bin Thahir Al-Haddad, dalam bukunya
“Uqud Al-Almas.”
Adapun beberapa
kesesatan Syiah yang telah nyata adalah:
·
Keyakinan bahwa Imam
sesudah Rasulullah saw. Adalah Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan sabda Nabi
saw. Karena itu para Khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin
Abi Thalib r.a.
·
Keyakinan bahwa Imam
mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa).
·
Keyakinan bahwa Ali bin
Abi Thalib dan para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum hari
kiamat untuk membalas dendam kepada lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar,
Utsman, Aisyah dll.
·
Keyakinan bahwa Ali bin
Abi Thalib dan para Imam mengetahui rahasia ghaib, baik yang lalu maupun yang
akan datang. Ini berarti sama dengan menuhankan Ali dan Imam.
·
Keyakinan tentang
ketuhanan Ali bin Abi Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah
bin Saba’ dan akhirnya mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib sendiri
karena keyakinan tersebut.
·
Keyakinan mengutamakan
Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Padahal Ali sendiri
mengambil tindakan hukum cambuk 80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan
tersebut.
·
Keyakinan mencaci maki
ara sahabat atau sebagian sahabat seperti Utsman bin Affan (lihat Dirasat fil
Ahwaa’ wal Firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abd. Karim
Al Aql, hal.237).
Pada
abad kedua Hijriah perkembangan keyakinan Syi’ah semakin menjadi-jadi sebagai
aliran yang mempunyai berbagai perangkat keyakinan baku dan terus berkembang
sampai berdirinya dinasti Fathimiyyah di Mesir dan dinasti Sofawiyyah di Iran.
Terakhir aliran tersebut terangkat kembali dengan revolusi Khomaeni dan
dijadikan sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979.
Saat
ini figur-figur Syiah begitu terkenal dan banyak dikagumi oleh generasi muda
Islam, karena pemikiran-pemikiran yang lebih banyak mengutamakan kajian logika
dan filsafat. Namun, semua jamaah Sunnah wal Jamaah di seluruh dunia, sudah
bersepakat adanya bahwa Syiah adalah salah satu gerakan sesat.
‘
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Aliran
Syi’ah merupakan aliran pertama yang muncul di kalangan umat Islam. Aliran ini
dilatarbelakangi oleh pendukung ahlul bait yang tetap menginginkan pengganti
Nabi adalah dari ahlul bait sendiri yaitu Ali bin Abi Thalib. Mereka mempunyai
doktrin sendiri dalam alirannya, salah satunya tentang Imamah. Mereka
berpendapat bahwa pengganti Nabi yang pantas menjadi pemimpin adalah seseorang
yang ma’shum(terhindar dari dosa). Bahkan dalam sekte yang ekstrim yaitu Syi’ah
Ghulat, mereka telah menuhankan Ali. Mereka menganggap bahwa Ali lebih tinggi
daripada Nabi Muhammad SAW.
Dalam
perkembangannya, Syi’ah dianggap aliran sesat. Banyak yang menganggap bahwa
Syi’ah adalah Islam. Hal ini sangat berbeda sekali, karena antara Islam dan
Syi’ah sangat jauh sekali tentang ajaran aqidahnya.
B.
Saran
Sangatlah
diperlukan bagi kita untuk mempelajari Aliran syi’ah ini,karena dengan belajar
aliran ini kita bisa mengetahui seluk beluk dari ajaran Syi’ah. Misalnya
tentang tokoh-tokoh Syi’ah. Dan agar kita juga bisa mengambil kekurangan dan
kelebihan dari aliran Syi’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Allamah M. H. Thabathaba’i, Islam Syiah, Cet. 2 ; Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1993
Abul
Hasan Isma’il al-Asy’ari, Prinsip-prinsip
Dasar Aliran Teologi Islam,Cet.I ; Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998
Zainal
Abidin Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, (Cet.
I ; Jakarta : Bumi Aksara, 1998
Abul Hasan Ali Al-Hasan An-Nadwi, Dua Wajah Paling Menentang,
([t. Cet] ; Surabaya : PT Bina Ilmu, 1988
[1] Allamah M. H.
Thabathaba’i, Islam Syiah, Cet. 2
; Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1993), h.40.
[2] Abul Hasan Ali
Al-Hasan An-Nadwi, Dua Wajah Paling Menentang, ([t.
Cet] ; Surabaya : PT Bina Ilmu, 1988), h. 21.
[5]Abul Hasan Isma’il al-Asy’ari,
Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi
Islam,(Cet.I ; Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998), h. 79
Tidak ada komentar:
Posting Komentar