Powered By Blogger

Jumat, 24 Mei 2013

ILMU TAUHID: memahami Konsep Syi'ah


''MEMAHAMI KONSEP TAUHID SYI’AH''




Makalah ini diajukan untuk memenuhi Tugas Kelompok  Diskusi
Mata Kuliah Ilmu Tauhid Program Studi Ekonomi Syariah.5
Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Watampone.




Disusun oleh Kelompok IV :


ST.ATIRAH
01123105






SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
WATAMPONE
2012/2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Syiah adalah madzhab yang pertama lahir dalam Islam. Madzhab Syiah memiliki visi politiknya sendiri, sebagian dekat dan sebagian lain jauh dari agama. Madzhab ini tampil pada  akhir masa pemerintahan Utsman, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali. Setiap kali Ali berhubungan dengan masyarakat, mereka semakin mengagumi bakat-bakat, kekuatan beragama, dan ilmunya. Karena itu para propagandis Syiah mengeksploitasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka tentang dirinya.
Di antara pemikiran itu ada yang menyimpang, dan ada pula yang lurus. Ketika keturunan Ali yang sekaligus keturunan Rasulullah mendapat perlakuan zalim yang semakin hebat dan banyak mengalami penyiksaan pada masa bani Umayyah, rasa cinta mereka terhadap keturunan Ali semakin mendalam. Mereka memandang Ahlulbait ini sebagai Syuhada dan korban kedzaliman. Dengan demikian, semakin meluaslah daerah madzhab Syiah dan pendukungnya semakin banyak. Golongan Syiah beranggapan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan anak keturunannya lebih berhak menjadi khalifahdaripada orang lain, berdasarkan wasiat Nabi. Masalah khalifah ini adalah soal politik yang dalam perkembangan selanjutnya mewarnai pandangan mereka di bidang agama.



B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Apa Pengertian dan Asal-usul Syia’ah?
2.      Apa-Apa saja yang Termasuk Golongan Syiah?
3.      Bagaimana Perkembangan dan Ajaran Syiah ?

















BAB  II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian dan Asal-usul Syi’ah
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Rasulullah S.a.w. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari ahlu al-bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahlul bait atau para pengikutnya.
Menurut Thabathbai, istilah Syi’ah untuk pertama kalinya ditujukan pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahlul bait pada masa Nabi Muhammad. Para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu diantaranya adalah Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqad bin Al-aswad, dan Ammar bin Yasir.
Pengertian bahasa dan terminologis diatas hanya merupakan dasar yang membedakan Syi’ah dengan kelompok islam lainnya. Di dalamnya belum ada penjelasan yang memadai mengenai Syi’ah berikut doktrin-doktrinnya. Meskipun demikian, pengertian diatas merupakan titik tolak penting bagi mazhab Syi’ah dalam mengembangkan dan membangun doktrin-doktrinnya yang meliputi segala aspek kehidupan, seperti imamah, taqiyah, mut’ah, dan sebagainya.
Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada masa akhir pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut pendapat lain, Syi’ah baru benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Muawiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali-kelak disebut Syi’ah, dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij.
Kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggntikan Nabi. Kepemimpinan Ali dalam pandangan Syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Rasulullah pada masa hidupnya. Pada awal kenabian, ketika Nabi Muhammad diperintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang menunujukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa besar.
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah, di suatu padang pasir yang bernama Ghadir Khumm. Nabi memilih Ali sebagai penggantinya dihadapan masa yang penuh sesak yang menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat-i ‘ammali) mereka. Namun realitas berkata lain.
Berlawanan dengan harapan mereka, justru ketika Nabi wafat dan jasadnya belum dikuburkan, sedangkan anggota keluarganya dan beberapa orang sahabat sibuk dengan persiapan dan upacara pemakamannya, teman dan pengikut Ali mendengar kabar adanya kelompok lain yang telah pergi ke masjid, tempat umat berkumpul menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba. Kelompok ini, yang kemudian menjadi mayoritas, bertindak lebih jauh, dan dengan sangat tergesa-gesa memilih pimpinan kaum muslimin dengan maksud menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan hal itu tanpa berunding dengan ahlul bait, keluarga, ataupun para sahabat yang sedang sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikit pun tidak memberitahukan mereka. Dengan demikian, kawan-kawan Ali dihadapkan kepada suatu  keadaan yang sudah tak dapat berubah lagi (faith accompli).[1]
Berdasarkan realitas itulah, muncul sikap di kalangan sebagian kaum muslimin yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti Nabi dan penguasa keagamaan yang sah  adalah Ali. Mereka berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya serta mengajak  masyarakat utuk mengikutinya. Inilah yang kemudian disebut sebagai Syi’ah. Namun lebih dari itu, seperti dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan  ini ada dalam wahyu islam sendiri, sehingga mesti diwujudkan.
Pada hal Ali Bin Abi Thalib r.a. saja mengakui bahwa Abu Bakar Siddiq r.a. itu sangatlah istimewa dan menonjol sekali dalam kebijaksanaan dan keadilan.[2]
Perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenai kalangan Syi’ah merupakan sesuatu yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah ‘perpecahan’ dalam islam yang memang mulai mencolok pada pemerintahan Utsman bin Affan dan memperoleh momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah perang Shiffin. Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadist-hadist yang mereka terima dari ahlul bait, berpendapat bahwa perpecahan itu sudah mulai ketika Nabi SAW. Wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar. Segera setelah itu terbentuklah Syi’ah. Bagi mereka, pada masa kepemimpinan Al-Khulafa Ar-rasyidiun sekalipun, kelompok Syi’ah sudah ada. Mereka bergerak di bawah permukaan untuk mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrin Syi’ah kepada masyarakat. Tampaknya, Syi’ah sebagai salah satu faksi politik islam yang bergerak secara terang-terangan, memang baru muncul pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sedangkan Syi’ah sebagai doktrin yang diajarkan secara diam-diam oleh ahlul bait  muncul segera setelah wafatnya Nabi.
Syi’ah mendapatkan pengikut yang semakin besar, Hal ini menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan kasar dan kejam dinasti ini terhadap ahlul bait. Diantara bentuk kekerasan itu adalah yang dilakukan penguasa Bani Umayyah. Yazid bin Mu’awiyah, umpamanya pernah memerintahkan pasukannya yang dipimpin oleh Ibnu Ziyad untuk memenggal kepala Husein bin Ali di Karbala. Diceritakan bahwa setelah dipenggal, kepala Husein dibawa ke hadapan Yazid dan dengan tongkatnya Yazid memukul kepala cucu Nabi Muhammad SAW yang pada waktu kecilnya sering dicium Nabi. Kekejaman seperti ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tertarik dan mengikuti madzhab Syi’ah, atau paling tidak menaruh simpati mendalam terhadap tragedi yang menimpa ahlul bait.
B. Golongan Syiah
Golongan Syia’ah adalah kaum yang mengikuti Ali bin Abi Thalib dimana mereka sangat mencintai Ali ra secara berlebih-lebihan ketimbang sahabat Rasulullah Saw yang lainnya. Diantara mereka ada yang dinamakan Ghulat yakni sangat keterlaluan dalam mencintai Ali ra, sehingga mengiktikadkan bahwa malaikat Jibril keliru dalam menyampaikan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad. Saw, yang seharusnya kepada Ali.
‘Menurut syahrustani dalam kitabnya Al Milal wa al Nihal mengatakan bahwa kaum Syi’ah terpecah dalam lima sekte (mazhab) yaitu Kaisaniah, Zaidiah, Imamiah, Ghulah dan Ismaliyah’.[3]
Mazhab Syi’ah yang dikemukan oleh Syahrustani tersebut merupakan induk dan biang dari mazhab Syi’ah. Dari mazhab tersebut lahirlah aliran-aliran yang jumlahnya tidak kurang dari 22. Dimana antaraliran saling bermusuhan, malah ada yang kafir-mengkafirkan. Kita akan membicarakan dua golongan yang masih ada dan besar pengaruhnya dalam dunia islam , yakni Syi’ah Zaidiah dan Syi’ah Imamiah (Jakfariah)
1.      Syi’ah Zaidiah
Dinamakan Syi’ah Zaidiah, karena merupakan kelompok pengikut Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husin Bin Ali bin Abi Thalib, yang merupakan saudara kandung dari Abu Ja’far Muhammad Al Baqir bin Ali  Zainal Abidin bin Abi Thalib. Syi’ah Zaidiah adalah golongan yang lebih moderat dari semua golongan Syi’ah yang ada. Menurut mereka Rasulullah tidak pernah menunjuk Ali sebagai khalifah secara langsung dengan menyebut namanya. Beliau hanya menunjukkan secara isyarat(deskripsi) saja.
Kelompok Syi’ah Zaidah tidak menuduh Abu Bakar dan Umar sebagai perampas kekhalifahan yang seyogianya diperuntukkan bagi Ali. Jadi, kekhalifahan Abu Bakar dan Umar adalah sah menurut mereka meskipun yang lebih berhak adalah Ali.
Dalam masalah akidah, mazhab Zaidah lebih condong kepada muktazilah. Imam Zaid tokoh pendiri mazhab ini (Zaidah) adalah murid dari washil bin Atha’ yang bapak moyangnya muktazilah. Dalam masalah fiqh mereka lebih mirip dengan Mazhab Syafi’i.
Kini Syiah Zaidiyyah juga tidak sama dengan Syiah Zaidiyyah masa dulu. Mereka terpecah menjadi tiga golongan yakni : Jaarudiyyah, Sulaimaniyyah, Shalihiyyah. Masing-masing sekte tersebut terbagi menjadi subesekte-subsekte lainnya seperti Hutsiyyin atau Houthi yang memerangi orang Islam di Yaman.
2.      Syi’ah Imamiah
‘Dinamakan Syi’ah imamiah karena menjadi dasar kepercayaan mereka adalah soal imam (khalifah)’.[4] Artinya, mereka beriktikad bahwa Baginda Ali –lah yang semestinya menjadi khalifah (pengganti Nabi). Hal itu bukan karena kecakapannya atau sifat-sifat yang disebut oleh Nabi Saw. Tentang beberapa  keistimewaan Ali, melainkan karena Rasulullah telah menyebut nama Baginda Ali secara langsung dan terang-terangan.
Mereka sepakat bahwa kepemimpinan itu merupakan pengabdian , bahkan seorang imam dibolehkan bohong demi keselamatan diri (taqiyyah), seperti dia menyatakan dirinya bukanlah imam, disamping itu mereka pun membatalkan adanya ijtihad dalam suatu hukum dimana imam yang utama (Ali bin Abu Thalib) senantiasa benar dan tidaklah mungkin dia berbuat salah dalam menetapkan hukum agama.[5]
Menurut kelompok Syi’ah Imamiah urutan nama-nama para imam yang wajib diimani adalah sebagai berikut :
  1. Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
  2. Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
  3. Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
  4. Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
  5. Muhammad bin Ali (676743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
  6. Jafar bin Muhammad (703765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
  7. Musa bin Ja'far (745799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
  8. Ali bin Musa (765818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
  9. Muhammad bin Ali (810835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
  10. Ali bin Muhammad (827868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
  11. Hasan bin Ali (846874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari
  12. Muhammad bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi
Menurut kepercayaan mereka , imam yang kedua belas itu (imam mahdi) adalah yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Ia akan muncul kembali pada akhir zaman untuk menegakkan keadilan dan menghancurkan kezaliman di muka bumi ini. Nama-nama imam yang dua belas itu adalah termasuk rukun iman bagi penganut mazhab Syi’ah imamiah.
Diantara kelompok Syi’ah Imamiah ada yang mengatakan bahwa imamiah berpindah dari Jakfar Shadiq (imam ke-6) kepada putra Ismail dan bukan kepada Musa Al Kazim seperti yang tertera dalam urutan di atas. Oleh sebab itu, mereka disebut Syiah Ismailiyah. Kelompok Ismailiyah itu suka bersembunyi apabila tidak kuat menghadapi musuh, banyak mengamalkan ilmu paranormal (magic), mereka disebut juga magic Bathiniah, kadangkala juga disebut Syi’ah Sabiah, yakni percaya terhadap tujuh orang imam yang dimulai dari imam Ali sampai Imam Ismail.
C. Perkembangan dan Ajaran Syiah
Berbicara mengenai syiah ataupun aliran syiah, kita tidak akan terlepas dengan mengaitkan hal tersebut dengan agama islam. Di kalangan awam masyarakat islam menganggap syiah adalah eksistensi yang tidak jelas, tidak diketahui apa hakikatnya, bagaimana berkembang, tidak melihat bagaimana sejarahnya, dan tidak dapat diprediksi bagaimana di kemudian hari. Mereka selalu mengaitkan bahwa syiah adalah islam. Padahal islam dan syiah sangat berbeda sekali, terutama dalam hal aqidahnya. bagaikan minyak dan air yang tidak mungkin dapat di satukan lagi.
Aliran ini timbul pada masa pemerintahan khalifah Usman Bin Affan yang di pimpin oleh Abdullah bin Saba’ Al-Himyari. Abdullah bin Saba’ Al-Himyari dalam memuliakan Ali sangat berlebihan diamenanamkan doktrin kepada pengikut aliran syiah dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa). Bahkan dia sampai menuhankan Ali. Hal ini terdengar oleh Khalifah Ali, akhirnya Khalifah Ali memeranginya dengan membakar para pengikut aliran syiah, kemudian sebagiannya lari ke Madain.
Pada periode awal hijriah, aliran syiah belum menjelma menjadi aliran yang solid, namun pada abad ke dua hijriah syiah mengalami perkembangan yang sangat pesat bahkan mulai menjadi mainstrem tersendiri. Dan pada periode-periode berikutnya aliran Syiah menjadi semacam keyakinan yang menjadi trend di kalangan generasi pemuda islam yaitu Syiah mengklaim menjadi tokoh pembaharu Islam, namun banyak dari pemikiran dan prinsip dasar keyakinan ini yang tidak sejalan dengan Islam itu sendiri.
Gerakan Syiah pertama kali berkembang di iran, rumah dan kiblat utama Syiah. Namun sejak tahun 1979, persis ketika revolusi Iran meletus dan negeri ini dipimpin oleh Ayatullah Khomeini dengan cara menumbangkan rejim Syah Reza Pahlevi, Syiah merembes ke berbagai penjuru dunia. Kelompok-kelompok yang mengarah kepada gerakan Syi’ah seperti yang terjadi di Iran, marak dan muncul di mana-mana.
Dalam menyebarkan paham keagamaannya, Syiah menggunakan beberapa cara. Diantaranya adalah dengan mengatasnamakan dirinya dengan Madhzab Ahlul Bait. Dengan tampilan ini, aliran Syiah lebih leluasa dalam menggait dan menyebarkan pahamnya terhadap masyarakat luas yang pada umumnya adalah masyarakat awam. Cara yang kedua yaitu aliran syiah membuat doktrin dan ajaran yang disebut dengan “TAQIYA”.Taqiyah adalah konsep Syiah dimana mereka diperbolehkan memutarbalikkan fakta (berbohong) untuk menutupi kesesatannya dan mengutarakan sesuatu yang tidak diyakininya. Seorang Syi’ah wajib bertaqiyah di depan siapa saja, baik orang mukmin yang bukan alirannya maupun orang kafir atau ketika kalah beradu argumentasi, terancam keselamatannya serta di saat dalam kondisi minoritas. Dalam keadaan minoritas dan terpojok, para tokoh Syi’ah memerintahkan untuk meningkatkan taqiyah kepada pengikutnya agar menyatu dengan kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, berangkat Jum’at di masjidnya dan tidak menampakkan permusuhan. Inilah kecanggihan dan kemujaraban konsep taqiyah, sehingga sangat sulit untuk melacak apalagi membendung gerakan mereka.
Para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa melakukan Taqiyah adalah hukumnya mubah(boleh) sesuai yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah. Mubah disini dapat dikategorikan apabila dalam keadaan terpaksa dan mengancam keselamatan jiwa. Seperti ketika menghadapi kaum musrikin demi menjaga keselamatan jiwanya dari siksaan yang akan menimpanya, atau dipaksa untuk kafir dan taqiyah ini merupakan pilihan terakhir karena tidak ada jalan lain. Demikianlah doktrin taqiyah yang ditanamkan syiah kepada para pengikutnya yang telah menyalahi dan menyimpang dari ajaran Allah yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ø  Kesesatan-kesesatan Syiah
Di kalangan Syiah, terkenal klaim 12 Imam atau sering pula disebut “Ahlul Bait” Rasulullah Muhammad saw; penganutnya mendakwa hanya dirinya atau golongannya yang mencintai dan mengikuti Ahlul Bait. Klaim ini tentu saja ampuh dalam mengelabui kaum Ahli Sunnah, yang dalam ajaran agamanya, diperintahkan untuk mencintai dan menjungjung tinggi Ahlul Bait. Padahal para imam Ahlul Bait berlepas diri dari tuduhan dan anggapan mereka. Tokoh-tokoh Ahlul Bait (Alawiyyin) bahkan sangat gigih dalam memerangi faham Syi’ah, seperti mantan Mufti Kerajaan Johor Bahru, Sayyid Alwi bin Thahir Al-Haddad, dalam bukunya “Uqud Al-Almas.”
Adapun beberapa kesesatan Syiah yang telah nyata adalah:
·           Keyakinan bahwa Imam sesudah Rasulullah saw. Adalah Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan sabda Nabi saw. Karena itu para Khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib r.a.
·           Keyakinan bahwa Imam mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa).
·           Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum hari kiamat untuk membalas dendam kepada lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dll.
·           Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam mengetahui rahasia ghaib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini berarti sama dengan menuhankan Ali dan Imam.
·           Keyakinan tentang ketuhanan Ali bin Abi Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah bin Saba’ dan akhirnya mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib sendiri karena keyakinan tersebut.
·           Keyakinan mengutamakan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan hukum cambuk 80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut.
·           Keyakinan mencaci maki ara sahabat atau sebagian sahabat seperti Utsman bin Affan (lihat Dirasat fil Ahwaa’ wal Firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abd. Karim Al Aql, hal.237).
Pada abad kedua Hijriah perkembangan keyakinan Syi’ah semakin menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai berbagai perangkat keyakinan baku dan terus berkembang sampai berdirinya dinasti Fathimiyyah di Mesir dan dinasti Sofawiyyah di Iran. Terakhir aliran tersebut terangkat kembali dengan revolusi Khomaeni dan dijadikan sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979.
Saat ini figur-figur Syiah begitu terkenal dan banyak dikagumi oleh generasi muda Islam, karena pemikiran-pemikiran yang lebih banyak mengutamakan kajian logika dan filsafat. Namun, semua jamaah Sunnah wal Jamaah di seluruh dunia, sudah bersepakat adanya bahwa Syiah adalah salah satu gerakan sesat.














BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Aliran Syi’ah merupakan aliran pertama yang muncul di kalangan umat Islam. Aliran ini dilatarbelakangi oleh pendukung ahlul bait yang tetap menginginkan pengganti Nabi adalah dari ahlul bait sendiri yaitu Ali bin Abi Thalib. Mereka mempunyai doktrin sendiri dalam alirannya, salah satunya tentang Imamah. Mereka berpendapat bahwa pengganti Nabi yang pantas menjadi pemimpin adalah seseorang yang ma’shum(terhindar dari dosa). Bahkan dalam sekte yang ekstrim yaitu Syi’ah Ghulat, mereka telah menuhankan Ali. Mereka menganggap bahwa Ali lebih tinggi daripada Nabi Muhammad SAW.
Dalam perkembangannya, Syi’ah dianggap aliran sesat. Banyak yang menganggap bahwa Syi’ah adalah Islam. Hal ini sangat berbeda sekali, karena antara Islam dan Syi’ah sangat jauh sekali tentang ajaran aqidahnya.
B.       Saran
Sangatlah diperlukan bagi kita untuk mempelajari Aliran syi’ah ini,karena dengan belajar aliran ini kita bisa mengetahui seluk beluk dari ajaran Syi’ah. Misalnya tentang tokoh-tokoh Syi’ah. Dan agar kita juga bisa mengambil kekurangan dan kelebihan dari aliran  Syi’ah.




DAFTAR PUSTAKA


Allamah M. H. Thabathaba’i, Islam Syiah, Cet. 2  ; Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1993

Abul Hasan Isma’il al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi Islam,Cet.I ; Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998

Zainal Abidin Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, (Cet. I ; Jakarta : Bumi Aksara,  1998

Abul Hasan Ali Al-Hasan An-Nadwi, Dua Wajah Paling Menentang, ([t. Cet] ; Surabaya : PT Bina Ilmu, 1988


[1] Allamah M. H. Thabathaba’i, Islam Syiah, Cet. 2  ; Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1993), h.40.

[2] Abul Hasan Ali Al-Hasan An-Nadwi, Dua Wajah Paling Menentang, ([t. Cet] ; Surabaya : PT Bina Ilmu, 1988), h. 21.

[3] Zainal Abidin Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, (Cet. I ; Jakarta : Bumi Aksara,  1998), h. 61

[4] Ibid, h. 63

[5]Abul Hasan Isma’il al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi Islam,(Cet.I ; Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998), h. 79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar